Tuesday 24 December 2013

Di Balik Sukses Ekonomi China dan India






Assalamualaikum wr.wb

Pada kesempatan kali ini,saya akan repost sebuah artikel yang sangat bermanfaat,khususnya bagi teman-teman yang memang tertarik dalam bidang ekonomi.semoga bermanfaat.

artikel ini ditulis Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi ,

Cina dan India telah dikenal luas sebagai negara super power masa depan dalam
perekonomian dunia. Dengan memainkan berbagai peran, sebagai konsumen, suppliers,
pesaing, pembaharu (innovator) dan penyedia sumber daya manusia yang handal, Cina
dan India akan membentuk kembali perekonomian dunia. Kedua negara tersebut menjadi
pemain yang tangguh dalam penekanan biaya produksi, peningkatan teknologi dan jasa,
serta memiliki pertahanan yang kuat dalam memajukan negara. Bahkan keduanya
mendesak para ekonom besar seperti Paul Samuelson untuk memikirkan kembali
mengenai perdagangan bebas dan comparative advantage. Cina dan India juga
mendorong munculnya kegelisahan dan perdebatan mengenai persaingan global Amerika
dan negara –negara maju (G8) di masa depan.
Apa rahasia sukses mereka? Adakah kaitan antara keberhasilan China dan India dengan
etnik dua negara tersebut yang berdiaspora ke berbagai negara termasuk Indonesia?
Bagaimana prospek Indonesia dalam konteks keberhasilan China dan India?
Neoklasik
Teori ekonomi tradisional memberi perhatian utama pada efisiensi, alokasi dan
pemanfaatan sumber daya langka dengan cara yang paling hemat serta pertumbuhan
optimal dari sumber daya langka tersebut sepanjang waktu guna menghasilkan produk
dan jasa yang cakupannya semakin luas (Todaro, 2000). Pandangan yang juga disebut
sebagai teori ekonomi klasik atau neo-klasik ini sampai sekarang masih banyak dianut
oleh berbagai negara. Semakin banyak negara yang percaya bahwa perekonomian akan
menjadi lebih baik, tumbuh pesat bila memiliki beberapa persyaratan seperti: tersedianya
kapital yang mencukupi di pasar modal; adanya kedaulatan untuk memilih (adanya
persaingan bisnis) bagi konsumen sehingga mengarah pada terbentuknya mekanisme
penyesuaian harga secara otomatis; keputusan transaksi ekonomi didasarkan pada
analisis marginal (rasio pertambahan input dibanding output, rasio keuntungan dan
perhitungan utilitas); dan keseimbangan luaran (outcome) dalam semua produk dan pasar
sumber daya ekonomi. Semua persyaratan tersebut mengindikasikan adanya rasionalitas dalam keputusan ekonomi yang sepenuhnya materialistik, individualistik,berorientasi pada kepentingan diri sendiri.
Dalam perkembangannya, ada masa ketika terjadi banyak kasus yang menunjukkan
ekonomi neoklasik tidak dapat diterapkan secara mandiri. Ia memerlukan dukungan dan
intervensi dari institusi lain (sosial dan politik) agar terus menjadi primadona model
pembangunan ekonomi. Interaksi ekonomi dan praktik politik inilah yang kemudian
mewarnai aktivitas ekonomi-politik di seantero bumi ini dalam beberapa dekade terakhir,
termasuk ketika ekonomi kapitalis berhasil meruntuhkan kejayaan regim ekonomi
terpusat di negara – negara sosialis-komunis. Runtuhnya pesaing kapitalis, dan mulai
maraknya negara – negara eks sosialis-komunis mengadopsi ekonomi kapital, memutar
jentera teori ekonomi neoklasik kembali ke posisi puncak.
China dan India tak luput dari pengaruh neoklasik dan ekonomi politik. Perekonomian
Cina berkembang dengan pesat sejak pemerintahan Deng Xiaoping mulai membuka
belenggu perekonomian negara pada tahun 1979. Karpet merah digelar bagi investor
asing yang membawa masuk modal ke China dalam bentuk Foreign Direct Investment
(FDI). Tak heran, hingga akhir 1990-an Cina tercatat sebagai negara tujuan FDI terbesar
di Asia. Setiap dorongan pertumbuhan ekonomi ditandai dengan gelombang baru china
fever oleh perusahaan asing. Peningkatan ini didukung dengan munculnya manifestasi
baru dari kapitalisme Cina, seperti perusahaan-perusahaan pribadi, kemakmuran
konsumen, pabrik-pabrik ekspor, bursa saham, dan kantor partai komunis dalam suatu
bisnis.
India di pihak lain, selama kurang lebih 15 tahun yang lalu berada dalam pengawasan
negara maju seperti Amerika dan Inggris. Reformasi ekonomi yang diawali tahun 1991
menghasilkan kemajuan dramatis yang membayangi keberhasilan India. Keberhasilan
India tidak hanya dapat dilihat dari indikator GDP dan daya saing, namun juga tercermin
dari harapan hidup warganya yang semakin panjang (Rajadhyaksha, 2007). Berbeda
dengan China yang mengundang FDI, pada awalnya, keberhasilan India lebih banyak
disokong oleh investasi domestik. Sampai akhir 90-an, meski industrialisasi di India
cukup sukses, seperti software, desain semi konduktor, dan back-office call centers,
namun sangat sedikit yang terlihat di pasar global.

Model Ekonomi Baru

Pertengahan dekade 90-an, China dan India semakin meneguhkan eksistensi model
perekonomiannya yang baru. Model perekonomian China ditandai dengan mobilisasi
modal dan tenaga kerja secara besar-besaran, investasi asing, industri dalam skala besar,
dan campur tangan pemerintah. Kemampuan China dalam memobilisasi modal dan
tenaga kerja telah meningkatkan pendapatan per kapita hingga tiga kali lipat dalam satu
generasi, dan mengurangi lebih dari 300 juta kemiskinan. Sedangkan model
perekonomian India ditandai dengan tingginya teknologi dan jasa, modal sendiri, bisnis
yang terfokus pada barang dan jasa berkualitas dengan harga rendah, dan sedikit industri
manufaktur. India sangat berperan dalam rantai inovasi teknologi global. Banyak
perusahaan teknologi besar, seperti Motorola dan Hewlett-Packard, yang
mempercayakan ilmuan India untuk merancang software dan multimedia feature pada
produk-produk mereka selanjutnya.
Kedua negara tersebut menjadi sangat kuat terutama dikarenakan kemampuan mereka
yang saling melengkapi. China akan tetap mendominasi barang-barang manufaktur tetapi
lemah dalam industri teknologi, sedangkan India sebaliknya. Dalam setiap dimensi
perekonomian, seperi konsumen, investor, produsen, dan penggunaan energi dan
komoditi, kedua negara termasuk dalam kelas berat. Konsumen dan perusahaan China
dan India selalu menuntur teknologi dan feature terbaru. Pada dekade selanjutnya, China
dan India akan dapat menguasai buruh, industri, perusahaan dan pasar di dunia dan
menggantikan dominasi Amerika.
Berkah Dalam Keterbatasan
Bagi pejuang, keterbatasan bukan merupakan hambatan, namun dianggap sebagai berkah
yang harus disyukuri. Semangat mempertahankan kehidupan, mencapai kesejahteraan
yang lebih baik dan berkelanjutan, menjadi energi bawah sadar yang mengendap di
hampir warga China, India yang tinggal di negaranya, atau etnik keduanya yang
bermukim tanah rantau (Wang, 1999).
Kondisi geografis yang sangat luas, sebagian besar gurun tandus dan pegunungan,
membuat hanya sebagian kecil saja tanah di China dan India yang layak dihuni.
Kesulitan geografis, diperburuk dengan profil demografis, kemiskinan merupakan
permasalahan ekonomi yang lambat laun diserap sebagai kondisi sosial dengan
perlakuan kebijakan take it or leave it. Pilihan politik sosialis-komunis di China
menghalangi rakyat China untuk memupuk kekayaan pribadi, bahkan alih-alih
menyejahterakan, sistem politik yang berlaku menjadikan rakyat China harus rela hidup
dalam kemiskinan.
India dengan rejim politik sosialis-liberal, secara politik berada di ujung lain spektrum
politik dengan China, namun hingga akhir dekade 80-an kinerja ekonominya serupa
dengan China, kemiskinan mewajahi sudut-sudut banyak kota besar dan pedesaan di
India.
Nasib sebagian besar China perantauan di berbagai negara tidak banyak berbeda dengan
saudara mereka di tanah leluhur. Bedanya, sejak zaman kolonial para perantau berhasil
membangun kedekatan dengan penguasa, sehingga memudahkan mereka menguasai dan
mengelola sumber daya ekonomi. Hal ini bahkan menjadi kunci penyelamat (safety key)
yang memberi jalan kesejahteran ketika Pemerintah Republik Indonesia (orde baru)
melarang etnik China untuk bergiat di kancah politik, militer dan pemerintahan.
Deng Xiao Ping menyadari semakin terpuruknya perekonomian China, namun masih
berkeras diri ingin memertahankan komunisme. Hasilnya sebuah kompromi, investasi
asing diterima, namun intervensi politik ditolak. Bagi India, demokrasi sudah menjadi
tradisi yang tidak mungkin dihapus. Namun disadari demokrasi akan mengalami banyak
hambatan ketika ekonomi rakyat selalu dalam kesulitan. Solusinya, menghimpun
investasi domestik, meningkatkan kualitas pendidikan, membangun akses ke pasar
global, memilih teknologi yang tepat, dan pemerataan hasil pembangunan dengan
menyediakan pembiayaan bagi usaha kelas kecil dan menengah. Bagi perantau etnik
China dan India, ketika akses kepada profesi sosial politik dilarang (di Indonesia), atau
ketika pemerintah menerapkan kebijakan proteksi ekonomi bagi pribumi (di Malaysia)
maka kedua kelompok etnik ini dengan leluasa memasuki sektor ekonomi, berwirausaha,
yang tidak banyak digeluti oleh pribumi (istilah yang diciptakan untuk
membedakan warga asli dan perantau asing).
GuangXi
Salah satu kunci sukses bisnis etnik China baik yang tinggal di negerinya sendiri maupun
di perantauan adalah kuatnya eksistensi saling percaya (trust) pada tingkat individu dan
adanya guanxi, sebagai pelindung dari lemahnya kelembagaan publik. Dalam sejarah
China, kepercayaan kepada uang kertas telah mengalami berbagai ujian terkait dengan
naik-turunnya kondisi ekonomi dan politik. Dalam hubungan ini, Chan (2000)
mengatakan menjadi wajar bila hanya sedikit saja anggota masyarakat yang percaya
terhadap birokrasi dan struktur hukum ketika aksi kedua lembaga ini tidak menyiratkan
kepercayaan dan perlindungan hak individu serta transaksi bisnis. Akibatnya lembaga
formal tidak pernah mendapat kepercayaan masyarakat.
Dalam konteks seperti ini guangxi tidak hanya memberi ruang bagi ekspresi hubungan
pribadi antar-pelaku bisnis yang dikombinasikan dengan karakter pribadi (trait) dan
kesetiaan (loyalty), namun juga merupakan sebuah bentuk pertukaran sosial berdasarkan
sentimen primordial dan emosi budaya yang ditandai dengan saling percaya. Ketika
seseorang berhutang kepada sesama pelaku bisnis, pembayarannya tidak semata-mata
tepat waktu dan sesuai perhitungan (pokok plus bunga) namun dalam transkasi seperti
ini terkandung pula ikatan sosial yang seringkali di luar rasional ekonomi. Selalu ada
unsur non-ekonomi (intangible goals) seperti motivasi politik, kekuasaan, meraih status
tertentu, dan lain sebagainya dalam transaksi yang bernafaskan guangxi. Sebaliknya, jika
seseorang melakukan wan-prestasi atas komitmen yang terbangun dalam semangat
guangxi, maka dengan mudah citra negatif akan tersebar dan habislah masa depan
bisnisnya.
Jaringan guangxi terwujud karena berbagai latar belakang, ada yang karena memiliki
kesamaan asal daerah (qingqi), teman satu alumni (tongxue), sahabat ketika di perguruan
tinggi (tongshi), atau karena ada kesamaan minat (tonghao). Melihat latar belakang
terbentuknya, perlu dicermati bahwa guangxi tidak identik dengan kekeluargaan
(familialism) dan paternalism. Guangxi lebih mentik –beratkan pada adanya tata aturan
tidak tertulis (unwritten codes) yang melindungi perilaku oportunistik anggotanya.
Menyusul perubahan kebijakan ekonomi China, banyak perantau yang telah sukses di
berbagai negara, karena guangxi, mereka kembali dengan membawa investasi untuk
membangun tanah leluhur. Meskipun dalam skala yang lebih kecil, hal serupa terjadi
pula di India. Pengusaha India yang sukses berbisnis di Amerika, Eropa dan Asia
kembali ke negaranya, membangun bisnis untuk mendukung bisnis intinya di luar negeri,
dengan mempekerjakan tenaga lokal. Hasilnya, China dan India dapat segera masuk ke
pasar global, dengan kualitas dan harga yang kompetitif.
Peran Konsumen
Masyarakat China melakukan berbagai perubahan untuk memperbaiki keadaan
perekonomiannya. Demikian juga dengan India. Kehidupan para wanita di India mulai
mengalami perubahan terutama bagi wanita muda. Saat ini wanita muda dapat
menentukan sendiri apa yang diinginkan atau tidak diinginkannya. Bagi masyarakat
India, perubahan pandangan terhadap wanita dalam kehidupan merupakan suatu
revolusi. Bagi para pengusaha di India, perubahan tersebut merupakan suatu kesempatan
untuk melakukan eksploitasi.
Dengan jumlah penduduk sebesar satu miliar dan 70% di antaranya merupakan
penduduk miskin, India memerlukan barang dan jasa yang murah namun berkualitas.
Kebanyakan produk luar negeri terlalu mahal bagi pasar India. Para teknisi dan
professional di India terfokus pada penemuan solusi dari permasalahan tersebut pada
berbagai bidang mulai dari manufaktur dan kesehatan hingga keuangan dan pendidikan
untuk menghasilkan produk berkualitas yang dapat diperoleh masyarakat India yang
miskin dengan memproduksi dengan skala besar dan efisiensi.
Inovasi Bisnis dan Teknologi
Walaupun tanpa suatu penemuan jenius yang inovatif, para teknisi China dapat
mengkloning teknologi dunia yang paling maju dalam telecommmunication and
computer gears. Sebagian besar pengusaha telah menyadari pencapaian China dalam
industri manufaktur. Selain konsumen gadget dan komponen elektronik, pengaruh China
dalam teknologi global yang paling utama yaitu dalam persaingan teknologi khususnya
peralatan jaringan. China berusaha mengimbangi kemajuan teknologi guna menghindari
ketergantungan kepada negara maju, dan sekaligus menyediakan produk teknologi bagi
negara – negara lain.
Selama bertahun-tahun, China memberikan harga murah pada berbagai barang pertokoan
seperti sepatu, pakaian, dan microwave oven. Saat ini, China sedang mengembangkan
industri teknologi intensif, misalnya seperti pada otomotif, baja, kimia, semikonduktor,
dan elektronik digital. Akhirnya China dengan cepat dapat menyusul ketinggalannya
dalam industri teknologi dan teknik mesin dan menjadi pemimpin manufaktur pada
bidang tersebut dan mungkin akan menjadi pusat inovasi yang utama.
India pun, saat ini sedang berusaha mengembangkan inovasi dalam teknologi. Salah
satunya adalah pengembangan software yang dilakukan oleh para wirausahawan baru
yang memiliki kerja sama dengan perusahaan software global. Hingga akhir 2006, India
telah menghasilhan ratusan ribu teknisi mesin industri dan software. Dengan adanya
kebutuhan pemasangan software, keahlian masyarakat India dapat berkembang dengan
cepat. Masyarakat India menyadari keuntungan dari rendahnya biaya akan berakhir
mungkin dalam lima belas tahun mendatang, dan persaingan dari China, Brazil dan
Ukraine akan semakin ketat. Untuk itu, perlu adanya inovasi teknologi, jika tidak maka
mereka tidak akan dapat bertahan.
Korupsi
Kedua negara sedang berjuang keras untuk menghilangkan korupsi yang banyak terjadi
di institusi pemerintah dan partai politik. Korupsi terjadi meluas di kedua negara. Polusi
udara dan air yang mengiringi industrialisasi mengancam lingkungan ekologis dan
mengganggu kesehatan. Di China belum ada ketegasan hukum mengenai perlindungan
lingkungan dan hak cipta. Proses pengambilan kebijakan tidak jelas sehingga pemutusan
atas kasus-kasus pelanggaran aturan, penggelapan dan pencurian intellectual property,
melalui pengadilan sangatlah sulit. Sedangkan India memiliki sistem hukum barat, tetapi
bergerak sangat lambat dan investasi jangka panjang dihentikan oleh perlawanan politik
dan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan.
Pelanggaran Hak Cipta
Besarnya populasi China dan India memunculkan pasar besar baru yang paling penting
bagi perekonomian dunia untuk setiap produk barang mulai dari mobil hingga ponsel.
China merupakan salah satu pasar di dunia yang paling berisiko dan paling kompleks.
Hak cipta intelektual diabaikan dan banyak perjanjian yang dibatalkan sepihak.
Kegagalan peraturan mengenai lingkungan terus berkembang. Pertumbuhan kapasitas
yang berlimpah dan persaingan yang sengit dari perusahaan-perusahaan China masih
mengutamakan menjaga rendahnya harga-harga. Adanya langkah besar dalam
perubahan, membuat China perlu melakukan penyesuaian secara konstan agar dapat
terus bertahan. Saat ini, agar dapat berhasil berbisnis di China, diperlukan lebih dari
guanxi dan perbaikan produk lama, yaitu menjaga bakat managerial orang China dan
memberikan mereka kendali untuk menjalankan kegiatan utama perusahaan.
Keberhasilan tersebut juga membutuhkan penguasaan mengenai pasar China yang rumit
dengan berbagai segmentasi pasar.
Prospek Indonesia?
Dibandingkan dengan China dan India, Indonesia memiliki banyak kesamaan. Populasi,
geografi, demografi dan nilai – nilai budaya ketimuran yang saling memengaruhi. Yang
menjadi persoalan, dengan titik awal yang relatif sama (di tahun 70-an GDP Indonesia
lebih besar dari China dan India) mengapa kedua negara tersebut kinerja pertumbuhan
ekonominya jauh lebih bagus dibanding Indonesia? Menggunakan konsep Porter tentang
Competitiveness of The Nations, maka jawab singkatnya, kekurangan terletak pada
birokrasi dan rezim pemerintahan.
Meski jawaban ini tidak seratus persen benar, namun bila birokrat kita berlapang dada,
tidak defensif namun instropeksi dan selanjutnya membuat kebijakan perubahan dan
sekaligus mengimplementasikanya secara kontinyu dan konsisten dengan dukungan
anggaran sebagaimana dilakukan oleh Deng Xiao Ping dan Pemimpin India, prospek
Indonesia dalam mengejar ketertinggalan dari kedua negara tersebut sangat besar.
Indonesia dapat memilih membuat produk komplemen bagi produk China dan India,
sehingga upaya sinergi, loby diplomatik perlu dilakukan. Atau menghasilkan produk
yang memilki keunggulan komparatif dari produk kedua negara tersebut, seperti
kerajinan rumah tangga, teknologi menengah, dan produk intelektual (piranti lunak
komputer).*****

No comments:

Post a Comment